Jumat, 05 Juli 2013

Pertemuan ke tiga

UNSUR-UNSUR PROSA

3.1 Unsur-Unsur Intrinsik
3.1.1 Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja tematerdapat pada unsur penokohan, alur, atau  latar.
Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat merumuskan tema cerita fiksi, seorang pembaca harus terlebih dahulu mengenali unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang untuk mengembangkan cerita fiksinya.

3.1.2 Alur
Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Bagian-bagian alur tersebut tidaklah seragam. Kadang-kadang susunannya itu langsung pada penyelesaian lalu kembali pada bagian pengenalan. Ada pula yang diawali dengan pengungkapan peristiwa, lalu  pengenalan, penyelesaian peristiwa, dan puncak konflik. Tidak sedikit pula cerita yang alurnya berbelit-belit dan penuh kejutan, juga kadang-kadang sederhana.
Selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam mendefinisikan alur. Alur  dianggap sama dengan jalan cerita. Pendefinisian itu sebenarnya tidak tepat. Jalan cerita adalah peristiwa demi peristiwa yang terjadi susul menyusul. Lebih dari itu alur adalah rangkaian peristiwa yang saling berkaitan karena hubungan sebab akibat. Untuk dapat membedakannya, marilah kita amati contoh berikut.
A.    Pukul 04.00 pagi Ani bangun. Ia segera membereskan tempat tidur. Setelah itu ia ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Selesai mandi dan berwudhu, ia berdandan dan lalu sholat. Kemudian ia membaca buku sebentar, sarapan, lalu berangkat sekolah.
B.     Pukul 04.00 pagi Ani bangun. Tak biasanya ia bangun sepagi ini. Semalam pun ia susah tidur. Pertengkarannya dengan Wendi kekasihnya di sekolah terus membayanginya. Ia sangat sedih dan kecewa karena Wendi telah menghianati kesetiaan hatinya. Tetapi ia mencoba menepis bayangan-bayangan itu. Ia pun segera mandi, berdandan, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Namun, di jalan ia tidak konsentrasi. Ketika ia menyeberang jalan, sebuah motor membuat tubuhnya terpental.

Contoh pertama adalah jalan cerita karena hanya menyajikan rangkaian peristiwa saja. Contoh kedua adalah alur karena menyajikan rangkaian peristiwa yang terjadi karena hubungan sebab akibat. Ani bangun lebih pagi disebabkan oleh kesulitannya tidur akibat peretngkaran dengan kekasihnya yang menghianantinya. Hal ini pun menyababkan Ani tidak konsentrasi berjalan di jalan raya ketika berangkat sekolah sehingga ia tertabrak. Cara menganalisa alur adalah dengan mencari dan mengurutkan peristiwa demi peristiwa yang memiliki  hubungan kausalitas saja. Adapun pengaluran adalah urutan teks. Dengan menganalisa urutan teks ini, pembaca akan tahu bagaimana pengarang menyajikan cerita itu, apakah dengan teknik linier (penceritaan peristiwa-peristiwa yang berjalan saat itu), teknik ingatan (flashback) atau bayangan (menceritakan kejadian yang belum terjadi).

3.1.3 Penokohan
Penokohan yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode sebagai berikut.
A.    Penggambaran Fisik
Pada teknik ini, pengarang menggambarkan keadaan fisik tokoh itu, misalnya wajahnya, bentuk tubuhnya, cara berpakaiannya, cara berjalannya, dan lain-lain. Dari penggambaran itu, pembaca bisa menafsirkan watak tokoh tersebut.
B.     Dialog
Pengarang menggambarkan tokoh lewat percakapan tokoh tersebut dengan tokoh lain. Bahasa, isi pembicaraan, dan hal lainnya yang dipercakapkan tokoh tersebut menunjukan watak tokoh tersebut.
C.     Penggambaran pikiran dan perasaan tokoh
Dalam karya fiksi, sering ditemukan penggambaran tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh. Penggambaran ini merupakan teknik yang juga digunakan pengarang untuk menunjukan watak tokoh.
D.    Reaksi tokoh lain
Pada teknik ini pengarang menggambarkan watak tokoh lewat apa yang diucapkan tokoh lain tentang tokoh tesebut.

E.     Narasi
Dalam teknik ini, pengarang (narator) yang langsung mengungkapkan watak tokoh itu.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri atas sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui penggambaran (1) fisik, (2) psikis, dan (3) sosial. Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur.
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia, tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Watak/karakter adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita.
Dilihat dari segi tingkat pentingnya (peran) tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagai besar cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan ke dalam tokoh prontagonis dan antagonis. Tokoh prontagonis adalah tokoh yang mendapat empati pembaca. Semantara tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.
Dari kriteria berkembang/tidaknya perwatakan, tokoh cerita dapat dibedakan  ke dalam tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sifat dan watak yang tetap, tak berkembang sejak awal hingga akhir cerita, adapun tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan plot yang diceritakan.

3.1.4 Latar
Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri atas tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, dan tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secarapasti. Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, melainkan pula dapat melalui sudut pandang.
Menurut Abrams (1981:175) latar adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi : 1) latar tempat, yaitu lata yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dan lain-lain; 2) latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dangan saat terjadinya peristiwa cerita, apakah berupa penanggalan penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan lain-lain; dan 3) latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.

3.1.5 Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam, yaitu berperan langsung, sebagai orang pertama, Cirinya adalah dengan memakai kata ganti aku dan berperan sebagai pengamat atau sebagai orang ketiga, pengarang tidak hadir dalam teks (berada di luar teks) dan menyebut tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga atau menyebut nama.

3.1.7  Gaya Bahasa
Dalam menyampaikan cerita, setiap pengarang ingin ceritanya punya daya sentuh dan efek yang kuat bagi pembaca. Oleh karena sarana karya prosa adalah bahasa, maka bahasa ini akan diolah semaksimal mungkin oleh pengarang dengan memaksimalkan gaya bahasa sebaik mungkin. Gaya bahasa (stile) adalah cara mengungkapkan bahasa seorang pengarang untuk mencapai efek estetis dan kekuatan daya ungkap. Untuk mencapai hal tersebut pengarang memberdayakan unsur-unsur gaya bahasa tersebut, yaitu dengan diksi (pemilihan kata), pencitraan (penggambaran sesuatu yang seolah-olah dapat diindra pembaca), majas.
A.    Diksi
Dalam penggunaan unsur diksi, pengarang melakukan pemilihan kata (diksi). Kata-kata betul-betul dipilih agar sesuai dengan apa yang ingin diungkapkan dan ekspresi yang ingin dihasilkan. Kata-kata yang dipilih bisa dari kosakata sehari-hari atau formal, dari bahasa Indonesia atau bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing, dan lain-lain), bermakna denotasi (memiliki arti lugas, sebenarnya, atau arti kamus) atau konotasi (memiliki arti tambahan, yakni arti yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (gambaran, ingatan, dari perasaan) dari kata tersebut .
B.     Citra
Citra/imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan pengarang sehingga apa yang digambarkan itu dapat ditangkap oleh pancaindera kita. Melalui pencitraan/pengimajian apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (citraan penglihatan) didengar (citraan pendengaran), dicium (citraan penciuman), dirasa (citraan taktil), diraba (citraan perabaan), dicecap (citraan pencecap), dan lain-lain. 
C.     Majas
Permajasan adalah teknik pengungkapan dengan menggunakan bahasa kias (maknanya tidak merujuk pada makna harfiah). Pemajasan terbagi menjadi 3, yaitu perbandingan / perumpamaan, pertentangan, dan pertautan.
a.       Majas Perbandingan
Sesuai dengan namanya gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang berusaha membuat ungkapan dengan cara memperbandingkan suatu hal atau keadaan dengan hal atau keadaan yang lain.
a)      Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang menganggap benda-benda tak bernyawa mempunyai kegiatan, maksud dan nafsu seperti yang dimiliki manusia.
Contoh: Anak panah melangkah mencari mangsa
b)      Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang memperbandingkan secara langsung seustu hal atau keadaan dengan hal atau keadaan lain yang memiliki sifat, keadaan, atau perbuatan yang sama.
Contoh:
Dewi malam mulai memancarkan sinarnya (bulan)
c)      Asosiasi
Asosiasi perbandingan terhadap suatu benda yang sudah disebutkan sehingga menimbulkan asosiasi atau tanggapan dengan benda yang diperbandingkan itu, biasanya dinyatakan dengan kata bagai, seperti, laksana, bak, dan sebagainya.
Contoh:
Hidupnya seperti biduk kehilangan kemudi.
d)     Metonimia
Metonimia adalah gaya bahasa yang menyamakan sepatah kata atau nama yang memiliki hubungan dengan suatu benda lain yang merupakan merek perusahaan atau perdagangan. Atau menyatakan sesuatu langsung menyebut namanya.
Contoh:
Coba buka Gorys Keraf halaman 123 (buku karangan Gorys Keraf)
e)      Simbolik
Simbolik adalah gay bahasa yang menyamakan sepatah kata atau nama dengan kata atau nama benda lain.
Contoh:
Orang-orang merebutkan kursi kepala desa yang kosong (jabatan)
f)       Tropen
Gaya Bahasa Tropen adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang tepat dan sejajar artinya dengan pengertian yang dimaksud.
Contoh:
Tadi padi temanku sudah terbang ke Sumatera.
g)      Litotes
Adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang berlawanan arti atau mengurangi kenyataan untuk merendahkan diri sebagai gaya pelembut untuk mempersopan yang kena kepada dirinya sendiri.
Contoh:
Singgahlah ke gubug kami! (padahal rumahnya seperti istana)
h)      Eufemisme
Eufemisme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lain dari pengertian sebenarnya dengan maksud agar terdengar lebih sopan, agar jangan sampai melukai hati orang tersebut.
Contoh:
Maaf, saya mau ke belakang sebentar. (WC)
i)        Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal atau keadaaan secara berlebihan menggunakan kata-kata yang mengandung makna lebih hebat dari arti atau rasa yang sebenarnya.
Contoh:
Larinya secepat kilat.
j)        Sinedose
Gaya Bahasa Sinedose
Gaya bahasa ini dibedakan menjadi dua macam:
• Sinekdose Pars Pro Toto, Yaitu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian dari bagian hal tersebut namun yang dimaksud untuk keseluruhan.
Contoh:
Kalau ke pasar belilah tiga ekor ayam.
• Totem Pro Parte, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian, namun yang dimaksud untuk keseluruhan.
Contoh:
Desa itu diserah wabah flu burung.
k)      Alusio
Alusio adalah gaya bahasa yang memakai ungkapan, kiasan atau peribahasa yang sudah lazim dipakai orang.
Contoh:
Hidupnya seperti telur di ujung tanduk.
l)        Antonomasia
Antonomasia adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai dengan cirri fisik dirinya atau watak orang tersebut, atau menyatkan sesuatu dengan menggunakkan kata majemuk posesif.
Contoh:
Apa si Gendut sudah makan?
m)    Perifrasis
Gaya bahasa Alegori adalah gaya bahasa yang dipakai dalam rangkaian tuturan secara keseluruhan.
Contoh:
Si jago merah telah pergi, tinggal asap menyapu runtuhan di Pasar Minggu.

b.      Majas Penegasan
Gaya Bahasa Penegasan adalah gaya bahasa yang berusaha menekan pengertian suatu kata atau ungkapan.
Gaya bahasa perbandingan ini dibagi menjadi:
a)      Pleonasme
Pleonasme adalah gaya bahasa yang menjelaskan sebuah kata yang sebenarnya tidak perlu dijelaskan lagi karena sudah jelas pengertiannya.
Contoh:
Mereka mundur ke belakang.
b)      Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengn perulangan kata atau kelompok kata di depan atau di belakang.
Contoh:
Ia cantik, cerdas, penuh pengertian dan memiliki segalanya yang diperlukan oleh seorang lelaki.
c)      Repetisi
Repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang sepatah kata atau kelompok kata beberapa kali dalam kalimat yang berbeda.
Contoh:
Bukan harta, bukan panngkat, bukan kecantikan, melainkan budi bahasalah yang menarik perhatian itu.
d)     Tautologi
Gaya Bahasa tautology adalah gaya bahasa yang mengulang sepatah kata atau sekelompok kata beberapa kali dalam sebuah kalimat.
Contoh:
Disuruhnya aku bersabar, bersabar dan terus bersabar.
e)      Klimaks
Gaya bahasa Klimaks menyatakan beberapa hal berturut-turut makin lama makin hebat atau makin memuncak.
Contoh:
Rakyat di kampong, di desa, di kota mengibarkan Sang saka
f)       Antiklimaks
Antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin melemah artinya.
Contoh:
Jangankan berdiri, duduk, bergerak pun aku tak bias.


g)      Asindenton
Yaitu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan perincian tanpa kata sambung, atau menyatakaan beberapa hal berturut-turut tanpa memakai kata-kata penghubung.
Contoh:
Coba ambilkan bantal, selimut, untuk tamu kita.
h)      Polisindenton
Gaya Bahasa Polisindenton adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan, memakai kata penghubung/ kata sambung yang sama.
Contoh: Setelah makan dan berpakaian dan mengisaap rokok sebatang barulah ia pergi.
i)        Enumerasi
Gaya bahasa ini dipakai untuk menyebutkan beberapa peristiwa yang membentuk kesatuan, dilukiskan bagian demi bagian supaya jelas.
Contoh:
Kau tak tahu siapa aku sebenarnya. Saya seseorang yang hina, yang diusir keluarga, yang tidak mempunyai alamat pasti.
j)        Interupsi
Ialah gaya bahasa penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat sisipan di antara kalimat pokok, dengan maksud menjelaskan sesuatu dalam kalimat tersebut.
Contoh:
Ia-suami yang dicintainya- gugur dalam pertempuran
k)      Retoris
Gaya Bahasa Retoris yang menggunakan kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban.
Contoh:
Mana mungkin orang mati hidup kembali
l)        Koreksio
Koreksio adalah gaya bahasa yag berisi pembentukan apa yang diucapkan yang salah sebelumnya, baik disengaja maiupun tidak disengaja.
Contoh:
Dia sakit ingatan, eh maaf, dia sakit demam.
m)    Eksklamsio
Adalah gaya bahasa yang memaki kata-kata seru tiruan bunyi untuk menegaskan maksud.
Contoh:
Aduhai, indahnya pemandangan ini
n)      Elipsi
Gaya bahasa ini yang menghilangkan satu unsure atau beberapa unsure kalimat, mungkin subyek, predikat, atau keterangan jadi gaya bahasa ini mempergunakan bentuk kalimat elips supaya penegasan jatuh pada kata-kata sisa yang disebutkan.
Contoh:
Rasain bekas tanganku! Mencuri lagi?

c.       Majas sindiran
Gaya Bahasa Sindiran adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyindir orang lain, dari sindiran halus sampai pada sindiran kasar sebagai ungkapan perasaan tak senang atau marah.
Gaya Bahasa Sindiran dibedakan menjadi tiga macam:
a)      Ironi
Dalam ironi dipakai kata-kata yang berlawanan dengan maksud sebenarnya.
Contoh:
Cepat benar kau pulang, masih jam dua malam
b)      Sinisme
Hamper mirip dengan ironi, tetapi kata-kata yang dipergunakan sudah terdengar agak kasar.
Contoh:
Mual perutku melihat tampangmu.
c)      Sarkasme
Merupakan gaya bahasa sindiran yang paling kasar.
Contoh:
Bangsat, berani benar kau menantangku!


d.      Majas pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang diungkapkan dengan jalan mempertentangkan suatu hal atau keadaan.
Ragam gaya bahasa pertentangan:
a)      Paradoks
Paradox adalah gaya bahasa yang terlihat seolah-olah ada pertentangan.
Contoh:
Di malam yang ramai ini, dia merasa kesepian.
b)      Kontradiksi in Terminis
Ialah gaya bahasa yang berisi ungkapan yang bertentangan dengan apa yang disebutkkan sebelumnya.
Contoh:
Tahun ini semua anak naik kelas, kecuali Badru.
c)      Antitesis
Antithesis adalah gaya bahasa pertentangan yang mempergunakan paduan kata yang berlawanan arti.
Contoh:
Tua-muda, besar-kecil, lelaki-perempuan, berkumpul di tanah lapang ini.

3.1.6 Amanat
            Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat tersimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam isi cerita.

3.2 Unsur-Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik prosa adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, seperti faktor pendidikan pengarang, faktor kesejarahan, dan faktor sosial budaya.  Setiap karya sastra, termasuk prosa, tidak bisa tercipta tanpa melibatkan unsur-unsur kebudayaan. Semua karya sastra akan terkait dan melibatkan dinamika suatu kehidupan masyarakat, yang punya adat dan tradisi tertentu.


A.    Biografi Pengarang
Menurut Wellek & Warren penyebab lahirnya suatu karya sastra (termasuk drama) adalah pengarangnya sendiri. Itulah sebabnya biografi sang pengarang dapat dipergunakan untuk menerangkan dan menjelaskan proses terciptanya suatu karya sastra. Biografi pengarang dianggap dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra atau sejauhmana biografi pengarang dapat memberi masukan tentang penciptaan karyanya.
B.     Pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dengan kata lain sastra sering dianggap untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang hebat, baik pemikiran psikologis ataupun filsafat.  Secara langsung ataupun melalui kiasan-kiasan dalam karyanya, kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, atau mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut
C.     Sosial Budaya Masyarakat

Unsur ekstrinsik lain yang paling banyak dipermasalahkan adalah unsur yang berkaitan dengan biografi pengarang yang menyangkut latar sosial budaya masyarakat yang terkait dengan karya sastra. Hal tersebut karena adanya hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan timbal balik itu di antaranya: (1) menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya, yang disebutnya sebagai konteks social pengarang; (2) menyangkut sejauh mana karya sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat, yang disebutnya sebagai sastra sebagai cermin masyarakat; dan (3) menyangkut sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.



Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
            Winston

Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru

Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah

Mahayana,  Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
            University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
 Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: 
            Gramedia