UNSUR-UNSUR PROSA
3.1 Unsur-Unsur Intrinsik
3.1.1 Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita
menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan,
kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita,
diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja
tematerdapat pada unsur penokohan, alur, atau
latar.
Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat
merumuskan tema cerita fiksi, seorang pembaca harus terlebih dahulu mengenali
unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang untuk mengembangkan cerita
fiksinya.
3.1.2 Alur
Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan
sebab-akibat. Bagian-bagian alur tersebut tidaklah seragam. Kadang-kadang
susunannya itu langsung pada penyelesaian lalu kembali pada bagian pengenalan.
Ada pula yang diawali dengan pengungkapan peristiwa, lalu pengenalan, penyelesaian peristiwa, dan
puncak konflik. Tidak sedikit pula cerita yang alurnya berbelit-belit dan penuh
kejutan, juga kadang-kadang sederhana.
Selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam mendefinisikan alur.
Alur dianggap sama dengan jalan cerita.
Pendefinisian itu sebenarnya tidak tepat. Jalan cerita adalah peristiwa demi
peristiwa yang terjadi susul menyusul. Lebih dari itu alur adalah rangkaian
peristiwa yang saling berkaitan karena hubungan sebab akibat. Untuk dapat
membedakannya, marilah kita amati contoh berikut.
A.
Pukul
04.00 pagi Ani bangun. Ia segera membereskan tempat tidur. Setelah itu ia ke
kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Selesai mandi dan berwudhu, ia berdandan
dan lalu sholat. Kemudian ia membaca buku sebentar, sarapan, lalu berangkat
sekolah.
B.
Pukul
04.00 pagi Ani bangun. Tak biasanya ia bangun sepagi ini. Semalam pun ia susah
tidur. Pertengkarannya dengan Wendi kekasihnya di sekolah terus membayanginya.
Ia sangat sedih dan kecewa karena Wendi telah menghianati kesetiaan hatinya.
Tetapi ia mencoba menepis bayangan-bayangan itu. Ia pun segera mandi,
berdandan, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Namun, di jalan ia tidak
konsentrasi. Ketika ia menyeberang jalan, sebuah motor membuat tubuhnya
terpental.
Contoh pertama adalah jalan cerita karena hanya menyajikan rangkaian
peristiwa saja. Contoh kedua adalah alur karena menyajikan rangkaian peristiwa
yang terjadi karena hubungan sebab akibat. Ani bangun lebih pagi disebabkan
oleh kesulitannya tidur akibat peretngkaran dengan kekasihnya yang menghianantinya.
Hal ini pun menyababkan Ani tidak konsentrasi berjalan di jalan raya ketika
berangkat sekolah sehingga ia tertabrak. Cara menganalisa alur adalah dengan
mencari dan mengurutkan peristiwa demi peristiwa yang memiliki hubungan kausalitas saja. Adapun pengaluran
adalah urutan teks. Dengan menganalisa urutan teks ini, pembaca akan tahu
bagaimana pengarang menyajikan cerita itu, apakah dengan teknik linier
(penceritaan peristiwa-peristiwa yang berjalan saat itu), teknik ingatan (flashback) atau bayangan (menceritakan
kejadian yang belum terjadi).
3.1.3 Penokohan
Penokohan yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita.
Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode sebagai berikut.
A.
Penggambaran
Fisik
Pada teknik ini, pengarang menggambarkan keadaan fisik
tokoh itu, misalnya wajahnya, bentuk tubuhnya, cara berpakaiannya, cara
berjalannya, dan lain-lain. Dari penggambaran itu, pembaca bisa menafsirkan
watak tokoh tersebut.
B.
Dialog
Pengarang menggambarkan tokoh lewat percakapan tokoh tersebut
dengan tokoh lain. Bahasa, isi pembicaraan, dan hal lainnya yang dipercakapkan
tokoh tersebut menunjukan watak tokoh tersebut.
C.
Penggambaran
pikiran dan perasaan tokoh
Dalam karya fiksi, sering ditemukan penggambaran tentang
apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh. Penggambaran ini merupakan teknik yang
juga digunakan pengarang untuk menunjukan watak tokoh.
D.
Reaksi
tokoh lain
Pada teknik ini pengarang menggambarkan watak tokoh lewat
apa yang diucapkan tokoh lain tentang tokoh tesebut.
E.
Narasi
Dalam teknik ini, pengarang (narator) yang langsung
mengungkapkan watak tokoh itu.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya
manusia. Watak tokoh terdiri atas sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara
kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat
dilakukan melalui penggambaran (1) fisik, (2) psikis, dan (3) sosial. Latar
berkaitan erat dengan tokoh dan alur.
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia,
tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Watak/karakter
adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Adapun penokohan adalah cara
pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita.
Dilihat dari segi tingkat pentingnya (peran) tokoh dalam cerita, tokoh
dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh
yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa
mendominasi sebagai besar cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya
dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dalam porsi penceritaan
yang relatif pendek.
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan ke dalam
tokoh prontagonis dan antagonis. Tokoh prontagonis adalah tokoh yang mendapat
empati pembaca. Semantara tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan
terjadinya konflik.
Dari kriteria berkembang/tidaknya perwatakan, tokoh cerita dapat
dibedakan ke dalam tokoh statis dan
tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sifat dan watak yang tetap,
tak berkembang sejak awal hingga akhir cerita, adapun tokoh dinamis adalah
tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan plot yang diceritakan.
3.1.4 Latar
Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada
dalam cerita. Latar tempat terdiri atas tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal,
dan tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan
waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secarapasti. Cara
kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan
perwatakan, melainkan pula dapat melalui sudut pandang.
Menurut Abrams (1981:175) latar adalah tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar
dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi : 1) latar tempat, yaitu lata yang
merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan,
gedung, rumah, dan lain-lain; 2) latar waktu, yaitu latar yang berhubungan
dangan saat terjadinya peristiwa cerita, apakah berupa penanggalan penyebutan
peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan
lain-lain; dan 3) latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat,
budaya, nilai-nilai/norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.
3.1.5 Sudut
Pandang
Sudut pandang (point of view)
adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri
atas dua macam, yaitu berperan langsung, sebagai orang pertama, Cirinya adalah
dengan memakai kata ganti aku dan berperan sebagai pengamat atau sebagai orang
ketiga, pengarang tidak hadir dalam teks (berada di luar teks) dan menyebut
tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga atau menyebut nama.
3.1.7 Gaya Bahasa
Dalam menyampaikan cerita, setiap pengarang ingin ceritanya punya daya
sentuh dan efek yang kuat bagi pembaca. Oleh karena sarana karya prosa adalah
bahasa, maka bahasa ini akan diolah semaksimal mungkin oleh pengarang dengan
memaksimalkan gaya bahasa sebaik mungkin. Gaya bahasa (stile) adalah cara
mengungkapkan bahasa seorang pengarang untuk mencapai efek estetis dan kekuatan
daya ungkap. Untuk mencapai hal tersebut pengarang memberdayakan unsur-unsur
gaya bahasa tersebut, yaitu dengan diksi (pemilihan kata), pencitraan (penggambaran
sesuatu yang seolah-olah dapat diindra pembaca), majas.
A.
Diksi
Dalam penggunaan unsur diksi, pengarang melakukan
pemilihan kata (diksi). Kata-kata betul-betul dipilih agar sesuai dengan apa
yang ingin diungkapkan dan ekspresi yang ingin dihasilkan. Kata-kata yang
dipilih bisa dari kosakata sehari-hari atau formal, dari bahasa Indonesia atau
bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing, dan lain-lain), bermakna denotasi
(memiliki arti lugas, sebenarnya, atau arti kamus) atau konotasi (memiliki arti
tambahan, yakni arti yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (gambaran,
ingatan, dari perasaan) dari kata tersebut .
B.
Citra
Citra/imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat
memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan pengarang sehingga apa yang
digambarkan itu dapat ditangkap oleh pancaindera kita. Melalui
pencitraan/pengimajian apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (citraan
penglihatan) didengar (citraan pendengaran), dicium (citraan penciuman), dirasa
(citraan taktil), diraba (citraan perabaan), dicecap (citraan pencecap), dan
lain-lain.
C.
Majas
Permajasan adalah
teknik pengungkapan dengan menggunakan bahasa kias (maknanya tidak merujuk pada
makna harfiah). Pemajasan terbagi menjadi 3, yaitu perbandingan / perumpamaan,
pertentangan, dan pertautan.
a.
Majas
Perbandingan
Sesuai
dengan namanya gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang berusaha
membuat ungkapan dengan cara memperbandingkan suatu hal atau keadaan dengan hal
atau keadaan yang lain.
a)
Personifikasi
Personifikasi
adalah gaya bahasa yang menganggap benda-benda tak bernyawa mempunyai kegiatan,
maksud dan nafsu seperti yang dimiliki manusia.
Contoh:
Anak panah melangkah mencari mangsa
b)
Metafora
Metafora
adalah gaya bahasa yang memperbandingkan secara langsung seustu hal atau
keadaan dengan hal atau keadaan lain yang memiliki sifat, keadaan, atau
perbuatan yang sama.
Contoh:
Dewi
malam mulai memancarkan sinarnya (bulan)
c)
Asosiasi
Asosiasi
perbandingan terhadap suatu benda yang sudah disebutkan sehingga menimbulkan
asosiasi atau tanggapan dengan benda yang diperbandingkan itu, biasanya
dinyatakan dengan kata bagai, seperti, laksana, bak, dan sebagainya.
Contoh:
Hidupnya
seperti biduk kehilangan kemudi.
d)
Metonimia
Metonimia
adalah gaya bahasa yang menyamakan sepatah kata atau nama yang memiliki
hubungan dengan suatu benda lain yang merupakan merek perusahaan atau
perdagangan. Atau menyatakan sesuatu langsung menyebut namanya.
Contoh:
Coba
buka Gorys Keraf halaman 123 (buku karangan Gorys Keraf)
e)
Simbolik
Simbolik
adalah gay bahasa yang menyamakan sepatah kata atau nama dengan kata atau nama
benda lain.
Contoh:
Orang-orang
merebutkan kursi kepala desa yang kosong (jabatan)
f)
Tropen
Gaya
Bahasa Tropen adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang tepat dan
sejajar artinya dengan pengertian yang dimaksud.
Contoh:
Tadi
padi temanku sudah terbang ke Sumatera.
g)
Litotes
Adalah
gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang berlawanan arti atau mengurangi
kenyataan untuk merendahkan diri sebagai gaya pelembut untuk mempersopan yang
kena kepada dirinya sendiri.
Contoh:
Singgahlah
ke gubug kami! (padahal rumahnya seperti istana)
h)
Eufemisme
Eufemisme
adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lain dari pengertian sebenarnya
dengan maksud agar terdengar lebih sopan, agar jangan sampai melukai hati orang
tersebut.
Contoh:
Maaf,
saya mau ke belakang sebentar. (WC)
i)
Hiperbola
Adalah
gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal atau keadaaan secara berlebihan
menggunakan kata-kata yang mengandung makna lebih hebat dari arti atau rasa
yang sebenarnya.
Contoh:
Larinya
secepat kilat.
j)
Sinedose
Gaya
Bahasa Sinedose
Gaya
bahasa ini dibedakan menjadi dua macam:
•
Sinekdose Pars Pro Toto, Yaitu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian dari
bagian hal tersebut namun yang dimaksud untuk keseluruhan.
Contoh:
Kalau
ke pasar belilah tiga ekor ayam.
•
Totem Pro Parte, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian,
namun yang dimaksud untuk keseluruhan.
Contoh:
Desa
itu diserah wabah flu burung.
k)
Alusio
Alusio
adalah gaya bahasa yang memakai ungkapan, kiasan atau peribahasa yang sudah
lazim dipakai orang.
Contoh:
Hidupnya
seperti telur di ujung tanduk.
l)
Antonomasia
Antonomasia
adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai
dengan cirri fisik dirinya atau watak orang tersebut, atau menyatkan sesuatu
dengan menggunakkan kata majemuk posesif.
Contoh:
Apa
si Gendut sudah makan?
m)
Perifrasis
Gaya
bahasa Alegori adalah gaya bahasa yang dipakai dalam rangkaian tuturan secara
keseluruhan.
Contoh:
Si
jago merah telah pergi, tinggal asap menyapu runtuhan di Pasar Minggu.
b.
Majas
Penegasan
Gaya
Bahasa Penegasan adalah gaya bahasa yang berusaha menekan pengertian suatu kata
atau ungkapan.
Gaya
bahasa perbandingan ini dibagi menjadi:
a)
Pleonasme
Pleonasme
adalah gaya bahasa yang menjelaskan sebuah kata yang sebenarnya tidak perlu
dijelaskan lagi karena sudah jelas pengertiannya.
Contoh:
Mereka
mundur ke belakang.
b)
Paralelisme
Paralelisme
adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengn perulangan kata atau kelompok
kata di depan atau di belakang.
Contoh:
Ia
cantik, cerdas, penuh pengertian dan memiliki segalanya yang diperlukan oleh
seorang lelaki.
c)
Repetisi
Repetisi
adalah gaya bahasa yang mengulang sepatah kata atau kelompok kata beberapa kali
dalam kalimat yang berbeda.
Contoh:
Bukan
harta, bukan panngkat, bukan kecantikan, melainkan budi bahasalah yang menarik
perhatian itu.
d)
Tautologi
Gaya
Bahasa tautology adalah gaya bahasa yang mengulang sepatah kata atau sekelompok
kata beberapa kali dalam sebuah kalimat.
Contoh:
Disuruhnya
aku bersabar, bersabar dan terus bersabar.
e)
Klimaks
Gaya
bahasa Klimaks menyatakan beberapa hal berturut-turut makin lama makin hebat
atau makin memuncak.
Contoh:
Rakyat
di kampong, di desa, di kota mengibarkan Sang saka
f)
Antiklimaks
Antiklimaks
adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama
makin melemah artinya.
Contoh:
Jangankan
berdiri, duduk, bergerak pun aku tak bias.
g)
Asindenton
Yaitu
gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan perincian tanpa kata sambung, atau
menyatakaan beberapa hal berturut-turut tanpa memakai kata-kata penghubung.
Contoh:
Coba
ambilkan bantal, selimut, untuk tamu kita.
h)
Polisindenton
Gaya Bahasa Polisindenton adalah gaya bahasa yang
menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan, memakai kata penghubung/ kata
sambung yang sama.
Contoh: Setelah makan dan berpakaian dan mengisaap rokok
sebatang barulah ia pergi.
i)
Enumerasi
Gaya
bahasa ini dipakai untuk menyebutkan beberapa peristiwa yang membentuk
kesatuan, dilukiskan bagian demi bagian supaya jelas.
Contoh:
Kau
tak tahu siapa aku sebenarnya. Saya seseorang yang hina, yang diusir keluarga,
yang tidak mempunyai alamat pasti.
j)
Interupsi
Ialah
gaya bahasa penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat sisipan
di antara kalimat pokok, dengan maksud menjelaskan sesuatu dalam kalimat
tersebut.
Contoh:
Ia-suami
yang dicintainya- gugur dalam pertempuran
k)
Retoris
Gaya
Bahasa Retoris yang menggunakan kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban.
Contoh:
Mana
mungkin orang mati hidup kembali
l)
Koreksio
Koreksio
adalah gaya bahasa yag berisi pembentukan apa yang diucapkan yang salah
sebelumnya, baik disengaja maiupun tidak disengaja.
Contoh:
Dia
sakit ingatan, eh maaf, dia sakit demam.
m)
Eksklamsio
Adalah
gaya bahasa yang memaki kata-kata seru tiruan bunyi untuk menegaskan maksud.
Contoh:
Aduhai,
indahnya pemandangan ini
n)
Elipsi
Gaya
bahasa ini yang menghilangkan satu unsure atau beberapa unsure kalimat, mungkin
subyek, predikat, atau keterangan jadi gaya bahasa ini mempergunakan bentuk
kalimat elips supaya penegasan jatuh pada kata-kata sisa yang disebutkan.
Contoh:
Rasain
bekas tanganku! Mencuri lagi?
c.
Majas
sindiran
Gaya
Bahasa Sindiran adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyindir orang lain,
dari sindiran halus sampai pada sindiran kasar sebagai ungkapan perasaan tak
senang atau marah.
Gaya
Bahasa Sindiran dibedakan menjadi tiga macam:
a)
Ironi
Dalam
ironi dipakai kata-kata yang berlawanan dengan maksud sebenarnya.
Contoh:
Cepat
benar kau pulang, masih jam dua malam
b)
Sinisme
Hamper
mirip dengan ironi, tetapi kata-kata yang dipergunakan sudah terdengar agak
kasar.
Contoh:
Mual
perutku melihat tampangmu.
c)
Sarkasme
Merupakan
gaya bahasa sindiran yang paling kasar.
Contoh:
Bangsat,
berani benar kau menantangku!
d.
Majas
pertentangan
Gaya
bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang diungkapkan dengan jalan
mempertentangkan suatu hal atau keadaan.
Ragam
gaya bahasa pertentangan:
a)
Paradoks
Paradox
adalah gaya bahasa yang terlihat seolah-olah ada pertentangan.
Contoh:
Di
malam yang ramai ini, dia merasa kesepian.
b)
Kontradiksi
in Terminis
Ialah
gaya bahasa yang berisi ungkapan yang bertentangan dengan apa yang disebutkkan
sebelumnya.
Contoh:
Tahun
ini semua anak naik kelas, kecuali Badru.
c)
Antitesis
Antithesis
adalah gaya bahasa pertentangan yang mempergunakan paduan kata yang berlawanan
arti.
Contoh:
Tua-muda,
besar-kecil, lelaki-perempuan, berkumpul di tanah lapang ini.
3.1.6 Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau
pesan didaktis yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya.
Amanat tersimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam isi cerita.
3.2 Unsur-Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik prosa adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi
penciptaan karya sastra, seperti faktor pendidikan pengarang, faktor
kesejarahan, dan faktor sosial budaya. Setiap karya
sastra, termasuk prosa, tidak bisa tercipta tanpa melibatkan unsur-unsur
kebudayaan. Semua karya sastra akan terkait dan melibatkan dinamika suatu
kehidupan masyarakat, yang punya adat dan tradisi tertentu.
A.
Biografi
Pengarang
Menurut Wellek & Warren penyebab lahirnya suatu karya sastra (termasuk
drama) adalah pengarangnya sendiri. Itulah sebabnya biografi sang pengarang
dapat dipergunakan untuk menerangkan dan menjelaskan proses terciptanya suatu
karya sastra. Biografi pengarang dianggap dapat menerangkan dan menjelaskan
proses penciptaan karya sastra atau sejauhmana biografi pengarang dapat memberi
masukan tentang penciptaan karyanya.
B.
Pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran
yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dengan kata lain sastra sering dianggap
untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang hebat, baik pemikiran psikologis
ataupun filsafat. Secara langsung
ataupun melalui kiasan-kiasan dalam karyanya, kadang-kadang pengarang
menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, atau mengetahui garis
besar ajaran paham-paham tersebut
C.
Sosial
Budaya Masyarakat
Unsur ekstrinsik lain yang paling banyak dipermasalahkan
adalah unsur yang berkaitan dengan biografi pengarang yang menyangkut latar
sosial budaya masyarakat yang terkait dengan karya sastra. Hal tersebut karena
adanya hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan
timbal balik itu di antaranya: (1) menyangkut posisi sosial masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial
yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi
isi karya sastranya, yang disebutnya sebagai konteks social pengarang; (2)
menyangkut sejauh mana karya sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan
masyarakat, yang disebutnya sebagai sastra sebagai cermin masyarakat; dan (3)
menyangkut sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan
sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus
sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of
Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
Winston
Aminuddin. 1987.Pengantar
Apresiasi Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru
Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Keraf, Gorys.1981.Diksi
dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah.
Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kanisius
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM
Teeuw, A. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta:
Gramedia